There are the historical ‘problems’ alleged against the book that lead scholar to posit it to a fictional genre.
Yet, we are aware of certain ‘problems’ that are involved in the narrative and they deserved more attention and careful study. Judith is a narrative of real historical events, and this is held firmly by the Church Fathers and older Catholic scholars like Athanasius Miller and Gottfried Brunner. In fact, it is quite absurd if we are to think that the proto-type of Mary is taken from fantasy. This kind of thinking does not match with the teaching of the Church -that says Judith is the model of Mary, who through her Son has crushed the head of the enemy (Satan) upon her feet. In my opinion, to say so is almost like categorizing Judith as a pious Cinderella. In fact, from the profound edification found in Judith, it is unthinkable to consider the book as a mere fiction or edifying fantasy. The Church Fathers and pre-Vatican II exegetes always consider the Book Judith as a historical narrative. Karena keterbatasan waktu, saya tidak dapat menerjemahkannya. Untuk hal ini, saya pernah mengadakan studi dari beberapa sumber (ini tugas PR saya di kuliah), hanya saja, masih tertulis dalam bahasa Inggris. Belum lagi beberapa keberatan seperti nama Niniwe, Bethulia, yang terdapat pada teks. Keberatan utama yang mereka ajukan adalah karena raja Nebukadnezar yang tertera dalam Kitab itu disebut sebagai Raja Asyur di Niniwe, sedangkan melalui sejarah, raja Nebukadnezar dikenal sebagai Raja Babilon. Walaupun demikian, mari kita melihat keberatan yang ditujukan oleh para modern exegetes, yang berpendapat bahwa Kitab Yudit bukan merupakan kitab yang berdasarkan sejarah, dan hanya mengandung pengajaran saja, sehingga sepertinya dianggap sebagai ‘edifying fantasy’. Namun sikap exegete yang benar adalah berusaha melihat kemungkinan fakta yang terjadi sesuai dengan narasi dalam alkitab, dan bukannya langsung berkesimpulan bahwa Kitab tertentu tidak historis, hanya karena mereka belum dapat menemukan ‘benang merah’ antara fakta sejarah dan narasi Alkitab. Hanya tentu saja, jika bukti-bukti kemudian ditemukan, fakta akan semakin terungkap. Apalagi jika kemudian, ditemukan bukti sejarah yang kemungkinan mendukung kebenaran Kitab Yudit ini.Ĥ) Kita harus melihat bahwa dengan data yang kita ketahui dari Kitab Yudit itu, maka para ahli Kitab Suci hanya dapat melakukan perkiraan kejadian sesungguhnya namun tidak dapat diketahui secara pasti mana yang pasti benar. Tentu sangat ganjil jika Yudit yang dikatakan sebagai proto-tipe Bunda Maria ini hanya merupakan tokoh fantasi.Ģ) Begitu banyaknya referensi kepada data sejarah dalam kitab itu, misalnya saja nama-nama penguasa, pertempuran, genealogy Yudit yang mencakup 16 generasi (Yud 8), mengacu pada bagaimana sang penulis ingin menujukkan bahwa Yudit adalah seorang figur nyata dalam sejarah Israel.ģ) Tidak ditemukannya bukti sejarah yang lengkap bukan berarti bahwa segala isi dalam Kitab Yudit tersebut sebagai ‘kiasan/ allegory’. Clement dari Alexandria, Origen dan Tertullian juga mengutip Kitab Yudit dalam tulisan-tulisan mereka. Ambrosius (374) dalam On Duties of the Clergy, juga memuji Yudit sebagai teladan kebajikan.
Yudit, dengan kerendahan hatinya, memberikan dirinya untuk karya Tuhan mengalahkan Iblis, yang digambarkan oleh Holofernes. Clement dari Roma (95) dalam suratnya kepada jemaat di Korintus adalah Bapa Gereja yang pertama yang mengajarkan bahwa Yudit merupakan gambaran dari Bunda Maria. Mari bersama kita melihat beberapa alasannya:ġ) St. Para Bapa Gereja dan para ahli kitab suci (exegetes) sebelum Vatican II (sampai sekitar tahun 60-an) melihat Kitab Yudit sebagai kitab yang berdasarkan sejarah (historical narrative), dan menurut saya, seharusnya kitapun bersikap demikian. Lalu bagaimana mindset yang benar dalam memahami kitab yudit ini? Namun, dari berbagai sumber, dikatakan bahwa kitab yudit ini memuat kesalahan-kesalahan sejarah seperti nebukadnezar yang dinyatakan sebagai raja asyur. Kitab Yudit tergolong dalam kitab sejarah. Saya ingin tahu lebih banyak mengenai kitab yudit.